Kisah Sopyah: Sebuah Refleksi tentang Interseksionalitas

Sopyah-Supriatin
Sopyah Supriatin (22) seorang gadis di Indramayu yang berpenampilan seperti laki-laki agar bisa bekerja sebagai buruh bangunan. (foto: TRIBUNJABAR/HANDHIKA RAHMAN)

SURABAYA – Kisah inspiratif Sopyah Supriatin, seorang gadis dari Indramayu yang menyamar menjadi lakilaki untuk bekerja sebagai buruh bangunan demi menafkahi adiknya, tak hanya menyentuh tentang ketangguhan dan cinta persaudaraan, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang interseksionalitas.

Secara sederhana, interseksionalitas adalah sebuah teori yang menjelaskan tentang bagaimana berbagai identitas, seperti gender, ras, etnis, kelas sosial, agama, dan disabilitas, saling terkait dan berinteraksi dalam membentuk pengalaman yang unik dan kompleks bagi setiap individu.

Bagi perempuan, interseksionalitas berarti bahwa mereka mungkin mengalami diskriminasi dan penindasan berdasarkan berbagai faktor secara bersamaan.

Dalam konteks kisah Sopyah, interseksionalitas dapat dilihat dari beberapa aspek:

1. Gender dan Stigma Sosial

Sopyah dihadapkan pada stigma gender yang kuat di lingkungannya. Pekerjaan sebagai buruh bangunan umumnya hanya dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, dan perempuan yang ingin bekerja di bidang tersebut sering kali mendapatkan diskriminasi dan dianggap tidak pantas.

Oleh karena itu, Sopyah harus menyembunyikan identitasnya sebagai perempuan dan bekerja keras untuk membuktikan kemampuannya agar bisa diterima dan dihargai oleh rekan kerjanya. Hal ini menunjukkan bagaimana stigma gender dapat membatasi peluang perempuan dan menghambat mereka untuk mencapai potensi penuh mereka.

Baca juga:   Dari Benang ke Busana, Integrasi Teknologi Digital dalam Rantai Pasokan Tekstil

2. Kelas Sosial dan Keterbatasan Ekonomi

Keterbatasan ekonomi memaksa Sopyah untuk putus sekolah dan mencari pekerjaan. Keadaan ini menunjukkan bagaimana kemiskinan dan keterbatasan akses pendidikan sering kali memengaruhi perempuan secara tidak proporsional.

Perempuan dari latar belakang ekonomi kurang mampu lebih rentan terhadap eksploitasi dan diskriminasi di dunia kerja.

3. Persaudaraan dan Dukungan Berbagai Pihak

Meskipun menghadapi berbagai rintangan, Sopyah mendapatkan dukungan yang kuat dari berbagai pihak. Dukungan keluarga dari ayah dan adiknya menjadi sumber semangat utama bagi Sopyah untuk terus berjuang dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Para tetangga di sekitarnya pun turut membantu dengan memberikan makanan, pakaian, dan bantuan lainnya.

Namun, tak hanya itu, dukungan pemerintah juga memainkan peran penting dalam kisah Sopyah. Setelah kisahnya viral, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Indramayu dan Pemerintah Kecamatan Indramayu bergerak cepat untuk membantu Sopyah dan adiknya.

Baca juga:   Apakah Perlu Pemberdayaan Perempuan Melalui Partisipasi Kerja dalam Lingkungan Sosial?

Mereka mendatangi rumah keduanya dan memberikan bantuan berupa uang tunai, sembako, dan akses pendidikan untuk Sopyah dan adiknya.

Kisah Sopyah adalah salah satu contoh nyata di masyarakat tentang bagaimana interseksionalitas dapat memengaruhi pengalaman perempuan. stigma gender, keterbatasan ekonomi, dan norma sosial lainnya dapat menciptakan hambatan bagi perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka.

Namun, kisah Sopyah juga menunjukkan bahwa dengan tekad yang kuat, cinta, dan dukungan dari berbagai pihak, perempuan dapat mengatasi rintangan dan mencapai mimpinya. Kisah ini menjadi inspirasi bagi perempuan di seluruh Indonesia untuk berani mendobrak stigma dan meraih kesuksesan.

Sumber:

– jonisetiawan. (2024, Mei 20). Kisah Gadis Indramayu, Nyamar Jadi Laki-laki Demi Jadi Kuli, Terpaksa Dilakukan Demi Hidupi Adiknya. TribunTrends.com.

– Wikipedia. (n.d.). Intersectionality.

Penulis: Rifayani Nurul Afra

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini